Merokok merupakan salah satu faktor terbesar penyebab penyakit tidak menular, seperti stroke, jantung, diabetes melitus, kanker, dan lainnya. Untuk mencegah hal ini, Kementerian Kesehatan menerapkan kebijakan kawasan tanpa rokok (KTR) sebagai strategi intervensi utama pengendalian penyakit tidak menular.
Berdasarkan data WHO, lebih dari satu miliar orang di dunia menggunakan tembakau dan menyebabkan kematian lebih dari 5 juta orang setiap tahun. Bahkan diperkirakan sebagian besar kematian terjadi pada masyarakat yang tinggal di negara dengan penghasilan rendah dan menengah, termasuk Indonesia.
“Pengendalian masalah kesehatan akibat tembakau dan penyakit tidak menular perlu dilakukan secara komprehensif, terintegrasi dan berkesinambungan dengan melibatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat,” kata Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih saat pembukaan Workshop Pengendalian Masalah Kesehatan akibat Tembakau dan Penyakit Menular di Hotel Oasis Amir, Jakarta Pusat.
Berdasarkan data yang dimiliki Kementerian, untuk menanggulangi masalah penyakit akibat tembakau serta penyakit tidak menular, sebanyak 22 kabupaten dan kota di Indonesia seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Pontianak, Surabaya, dan lainnya telah menerapkan kebijakan KTR. Ini mulai dari pemberlakuan peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan walikota, maupun peraturan bupati.
“Penyakit tidak menular dan penyakit yang disebabkan oleh tembakau tidak bisa disembuhkan dengan tuntas dan butuh biaya sangat besar untuk melakukan perawatan khusus. Meski demikian, penyakit ini masih bisa dicegah. Hidup bersih saja tidak cukup, tapi harus juga didukung oleh lingkungan bebas dari rokok serta paparan asap rokok, untuk mencegahnya,” kata Endang.
Berdasarkan data yang dimilikinya, prevalensi merokok di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2001 prevalensinya sebesar 31,8 persen, sementara pada 2006 meningkat menjadi 64,2 persen. Bahkan dari data ini diketahui bahwa 6 dari 10 anak sekolah yang disurvei terpapar asap rokok di lingkungan rumahnya sendiri.
Selain itu, sebanyak tiga dari 10 pelajar, pertama kali merokok saat berusia di bawah 10 tahun. Sementara dari data Riset Kesehatan Dasar (RKD) 2010, remaja yang berusia 15 tahun ke atas dan merokok adalah 34,7 persen. Ini meningkat dibandingkan pada 2007 yang sebesar 33,4 persen.
“Sementara yang terpapar asap rokok pada 2010 adalah 76,1 persen dan tahun 2007,sebesar 84,5 persen. Angka ini menurun akibat adanya pemberlakukan KTR. Untuk itu, upaya-upaya seperti ini akan terus ditingkatkan. Dan pengendalian kesehatan akibat tembakau perlu dilakukan sepanjang hidup,” katanya.
Juga dijelaskan, ada sekitar 4.000 bahan kimia berbahaya terkandung dalam rokok dan bisa menyebabkan 25 macam penyakit. [Vivanews.com]
Berdasarkan data WHO, lebih dari satu miliar orang di dunia menggunakan tembakau dan menyebabkan kematian lebih dari 5 juta orang setiap tahun. Bahkan diperkirakan sebagian besar kematian terjadi pada masyarakat yang tinggal di negara dengan penghasilan rendah dan menengah, termasuk Indonesia.
“Pengendalian masalah kesehatan akibat tembakau dan penyakit tidak menular perlu dilakukan secara komprehensif, terintegrasi dan berkesinambungan dengan melibatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat,” kata Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih saat pembukaan Workshop Pengendalian Masalah Kesehatan akibat Tembakau dan Penyakit Menular di Hotel Oasis Amir, Jakarta Pusat.
Berdasarkan data yang dimiliki Kementerian, untuk menanggulangi masalah penyakit akibat tembakau serta penyakit tidak menular, sebanyak 22 kabupaten dan kota di Indonesia seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Pontianak, Surabaya, dan lainnya telah menerapkan kebijakan KTR. Ini mulai dari pemberlakuan peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan walikota, maupun peraturan bupati.
“Penyakit tidak menular dan penyakit yang disebabkan oleh tembakau tidak bisa disembuhkan dengan tuntas dan butuh biaya sangat besar untuk melakukan perawatan khusus. Meski demikian, penyakit ini masih bisa dicegah. Hidup bersih saja tidak cukup, tapi harus juga didukung oleh lingkungan bebas dari rokok serta paparan asap rokok, untuk mencegahnya,” kata Endang.
Berdasarkan data yang dimilikinya, prevalensi merokok di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2001 prevalensinya sebesar 31,8 persen, sementara pada 2006 meningkat menjadi 64,2 persen. Bahkan dari data ini diketahui bahwa 6 dari 10 anak sekolah yang disurvei terpapar asap rokok di lingkungan rumahnya sendiri.
Selain itu, sebanyak tiga dari 10 pelajar, pertama kali merokok saat berusia di bawah 10 tahun. Sementara dari data Riset Kesehatan Dasar (RKD) 2010, remaja yang berusia 15 tahun ke atas dan merokok adalah 34,7 persen. Ini meningkat dibandingkan pada 2007 yang sebesar 33,4 persen.
“Sementara yang terpapar asap rokok pada 2010 adalah 76,1 persen dan tahun 2007,sebesar 84,5 persen. Angka ini menurun akibat adanya pemberlakukan KTR. Untuk itu, upaya-upaya seperti ini akan terus ditingkatkan. Dan pengendalian kesehatan akibat tembakau perlu dilakukan sepanjang hidup,” katanya.
Juga dijelaskan, ada sekitar 4.000 bahan kimia berbahaya terkandung dalam rokok dan bisa menyebabkan 25 macam penyakit. [Vivanews.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar